Sabtu, 20 Desember 2014

makalah hadis etos kerja

I.                   PENDAHULUAN

A.       Latar belakang
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja ini, Rasulullah saw bersabda:
اعمل للدنيا كأنك تعيش ابدا واعمل للأخرة كأنك تموت غادا
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”
Dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1.      Apa pengertian etos kerja serta teks-teks Hadits tentang etos kerja ?
2.      Bagaimana Pandangan ulama mengenai Hadits tentang etos kerja dan kontekstualisasi Hadits tentang etos kerja dan realisasinya dalam kehidupan?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hadis dan untuk mengetahui pengertian etos kerja serta teks-teks hadis tentang etos kerja, Pandangan ulama mengenai hadis tentang etos kerja dan kontekstualisasi hadis tentang etos kerja dan realisasinya dalam kehidupan.


II.                PEMBAHASAN

A.       Pengertian Etos Kerja

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etos artinya pandangan hidup dalam suatu golongan secara khusus.[1] Sedangkan kata kerja, artinya perbuatan melakukan sesuatu kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil.[2]
Menurut Franz Magnis dan Suseno berpendapat bahwa etos adalah semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu.[3]
Menurut Clifford Geertz berpendapat bahwa etos adalah sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.[4]
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘Ulumuddin”, pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran.
Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah “ethikos”, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya arti sebagai Karakteristik, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Pada Webster's New Word Dictionary, 3rd College Edition, etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, serta keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika.
Bila ditelusuri lebih dalam, etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila pengertian etos kerja didefinisikan, etos kerja adalah respon yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan, respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, etika kerja merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang kelompok atau masyarakat.
Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika, ini merupakan nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa lain tidak.
Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis tertentu, yang tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu. Muncullah etos kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju lainnya. Bahkan prinsip yang sama bisa ditemukan pada pada etos kerja yang berbeda sekalipun pengertian etos kerja relatif sama. Sebut saja misalnya berdisplin, bekerja keras, berhemat, dan menabung; nilai-nilai ini ditemukan dalam etos kerja Korea Selatan dan etos kerja Jerman atau etos kerja Barat.
B.     Teks-teks hadis tentang etos kerja

Islam sangat mendorong orang-orang mukmin untuk bekerja keras, karena pada hakikatnya kehidupan dunia ini merupakan kesempatan yang tidak akan pernah terulang untuk berbuat kebajikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Ini sekaligus untuk menguji orang-orang mukmin, siapakah diantara mereka yang paling baik dan tekun dalam bekerja.[5] Allah swt berfirman;

الَّذِي خَلَقَ المَوْتَ وَالحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَالعَزِيزُالغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk’ ; 2)

Untuk menekankan perintah agar kita semua menggunakan kesempatan hidup ini dengan giat bekerja dan beramal, Allah swt menegaskan bahwa tidak ada satu amal atau satu pekerjaanpun yang terlewatkan untuk mendapatkan imbalan di hari akhir nanti, karena semua amal dan pekerjaan kita akan disaksikan Allah swt, Rasulullah saw dan orang-orang mukmin lainnya. Allah swt berfirman;

وَقُلْ اعْمَلوُافَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّون اِلى عالمِ الغيْبِ والشّهادةِ فَيُنبّئُكُمْ بِماكُنْتُمْ تَعْمَلوْنَ                                                                          

“Dan Katakanlah; “Bekerjalah kamu, maka Allah swt dan Rasulullah-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah’; 105)

Disisi lain, Rasulullah saw sangat menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak menjadi orang yang pemalas dan orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun, walau tampak hina dimata banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta yang ia peroleh dengan meminta-minta. Dalam sebuah riwayat disebutkan;
وعن حكيْم بن حزام رضى الله عنهما عن النّبيّ صلّى الله عليْه وسلّم قال (اليد العليا خير منْ يد السّفلى، وابْدأ بمنْ تعول وخيْر الصّدقة عنْ ظهر غنى ومنْ يسْتعْففْ يعفّه الله ومنْ يسْتغْن يغْنه الله) متفق عليه ,والفظ للبخارى
Dari Hakim putra Hizam, ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda; “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah itu ialah lebihnya kebutuhan sendiri. Dan barang siapa memelihara kehormatannya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barang siapa mencukupkan akan dirinya, maka Allah akan beri kecukupan padanya.” (H.R Bukhari).[6]

Hadis ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah lebih dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu barulah kepada yang lain. Di samping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa Allah akan mencukupi seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya berkecukupan tidak mau meminta belas kasihan orang lain. Ungkapan ini dapat dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan bagi orang kaya atau yang berkecukupan agar memberi kepada yang miskin dengan pemberian yang dapat menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang mempunyai usaha sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-minta (mengharap belas kasihan orang).
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan hidup, sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di atas bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena perbuatan tersebut merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah sendiri sudah memuliakan manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :

وَلَقَدْ كَرَمْنَا بَنِى اَدَم َوَحَمْلنَاهُمْ فىِ اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً

 “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas  kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ : 70).

Penjelasan ayat al-Qur’an di atas juga memotivasi manusia agar mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup haruslah berusaha dengan bekerja dalam lapangan kehidupan yang ia mampu kerjakan, baik itu berupa bertani, berdagang, bertukang, menjadi pelayan dan sebagainya. Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil meminta-minta sebagai pengemis jalanan. Jadi hadi ini sangat erat hubungannya dengan hadis pokok bahasan pertama yang menyatakan bahwa usaha terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri.
Demikiankah juga hadis ini memberi isyarat bahwa agama Islam menyuruh umatnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek dan rendah martabat perilaku menjadi pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar kemudian dijual adalah lebih baik daripada mengemis. Hal ini dinyatakan Nabi dalam salah satu sabdanya, hadis dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
لِاَنْ يَطُبَ اَحَدُكُمْ جَزْمَةً عَلىَ ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدٌ فَيُعْطِهِ اَوْ يَمْنَعُهُ ( اَخْرَجَهُ اْلبُخَاِرىْ مِنْ كِتَابِ اْلبُيُوْعِ(

“sesungguhnya bahwa seseorang di antara kamu yang bekerja mencari kayu bakar, diikatkan di punggungnya kayu itu (guna memikulnya) adalah lebih baik daripada dia meminta-minta yang kemungkinan diberi atau tidak diberi.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab al-Buyu’).

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُؤْمِنُ اْلقَوِى خَيْرُ وَاَحَبُّ اِلىَ اللهُ مِنَ الْمُؤْمِن اْلضَّعِيْفِ وَفىِ كُلِّ خَيْرٍ اِحْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ وَاَسْتَغْنِ باللهِ وَلاَ تَعْجِرُ وَاَنْ اَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ عَنِّى فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنَّ قُلْ قَدَّرَ الله وَمَاشَاءَ اللهُ فَعُل فَإِنْ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلُ الشَّيْطَانِ ( اَخْرَجَهُ مُسْلِم )
“ Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang memiliki keimanan yang kuat lebih Allah cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu akan menerbitkan kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang bermanfaat dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan untuk bekerja. Jika suatu hal yang jelek yang tidak disenangi menimpa engkau janganlah engkau ucapkan : Seandainya aku kerjakan begitu, takkan jadi begini, tetapi katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang demikian itu sudah ketentuan Allah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya ucapan “seandainya” itu adalah pembukaan pekerjaan setan.” (Hadis dikeluarkan Muslim).[7]

Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal, yaitu :
1.      menguatkan keimanan
2.      rakuslah untuk berbuat yang bermanfaat
3.      mohon pertolongan kepada Allah. Di samping itu beliau melarang berbuat dua hal, yaitu :
a.       lemah
b.      menyesali apa yang telah menimpa diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga mengatakan : “ Seandainya aku lakukan begitu, tak akan terjadi begini.”
Dalam hadits dinyatakan :وَفىِ كُلِّ خَيْرٍ  maksudnya bahwa keimanan yang kuat pada diri seseorang akan menciptakan kebaikan dalam segala hal. Sebab dari iman yang sempurna (benar dan kuat) akan mendorong seseorang berbuat yang baik, yang sudah tentu akan berakibat yang baik bagi kehidupannnya. Oleh sebab itu al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini berpendapat bahwa iman itu menjadi pengawal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bila diikuti dengan perbuatan baik (amal saleh). Di dalam al-Qur’an Allah berfirman :
مِنْ عَمَلٍ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنُ فَلْنَحِيْيَنَهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيْنُهُمْ اَجْرَهُمْ بِأَحْسَنٍ مَا كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ )سُوْرَةُ اْلنَحْلِ : 97 )
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl : 97).
Keimanan yang kuat (istiqamah) membuat seseorang rajin dan bersungguh-sungguh mencari kebahagiaan, baik itu untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya keimanan yang lemah, tidak atau kurang menjadi penggerak terwujudnya perbuatan baik pada diri seseorang, bahkan hawa nafsu yang menguasai dirinya, sehingga dirinya dengan mudah untuk berbuat kefasikan, berbuat yang tidak baik. Dengan demikian maka akan jauhlah kebahagiaan yang diharapkan manusia itu. Oleh sebab itu Rasulullah SAW menyatakan dalam hadis ini bahwa orang mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada yang lemah imannya.
Ketika Islam sangat menekankan kerja, lalu pekerjaan apakah yang paling utama? Terhadap pertanyaan itu ada sebuah hadist yang menyatakan bahwa;
Pekerjaan yang paling utama menurut Nabi Muhammad SAW adalah usaha seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang bersih.

عن رفاعة بن رافع أن النبي صلى الله عليه وسلم سأل:اي الكسب أطيب؟ عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
“Rifa’ah bin Rafi’I berkata bahwa Nabi SAW, ditanya, “Apa mata pencarian yang paling baik?” Nabi menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih.” (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim)
Penjelasan Hadis
Islam senangtiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharap rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian, tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah SWT. dan tidak mau berdoa kepada-Nya.[8]
Hadist di atas tidak secara jelas mengkategorikan jenis usahanya melainkan hanya menyebutkan prinsip usaha yaitu yang dilakukan oleh tangannya sendiri dan jual beli yang bersih. Jenis usaha yang disebutkan di akhir (perdagangan yang bersih) tidak banyak menimbulkan interpretasi, karena telah jelas bahwa jual beli yang di maksud adalah jual beli yang terhindar dari kebohongan dan sumpah palsu.
Dalam hadis ini Rasulullah SAW memerintahkan orang mu’min agar rakus (menyukai, mengerjakan) pekerjaan yang bermanfaat. Oleh sebab itu seseorang yang beriman haruslah bersikap tidak akan membiarkan waktu atau kesempatan yang dimiliki yang ia dapat menggunakan kesempatan itu berlalu tidak dimanfaatkan. Seorang mu’min yang baik dan bijak tentulah akan menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat, seperti berusaha mencari rezeki, harta untuk keperluan dan kebahagiaan hidup, mencari posisi dan kedudukan yang layak dalam percaturan kehidupan ini, atau menunutut ilmu yang bermanfaat untuk bekal perjuangan hidup, atau menggunakan kesempatan yang ada untuk beramal dan beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sehubungan dengan ini Rasulullah SAW pernah memperingatkan dalam salah satu sabdanya yang berarti : “ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat adanya kesempatan (H.R Bukhari dan Ibnu Abbas).
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda :
مَنْ حُسْنِ اِسْلاَمُ الْمَرْءِ تَرْكَهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ( رَوَاهُ التِّرْمِذِى وَاَبُوْ هُرَيَّرةَ )
“Di antara kebagusan perilaku keislaman seseorang adalah meninggalkan pekerjaan yang tidak berguna baginya.” (H.R Turmudzi dan Abu Hurairah).
Di dalam al-Qur’an surat Al-Ashr Allah SWT menyatakan bahwa manusia senantiasa dalam kerugian, kecuali yang beriman dan beraktivitas yang positif serta saling mengingatkan kejalan yang benar dan selalu bersabar (menghadapi tantangan dalam kehidupan ini).
Perintah Nabi SAW dalam hadis ini, yang ketiga adalah agar minta pertolongan kepada Allah SWT sangat penting. Nabi mengingatkan kita tentang perintah ketiga ini, disebabkan dalam kehidupan ini kita tidak akan luput dari kesulitan-kesulitan. Memang Allah menciptakan kehidupan untuk menguji manusia menilai siapa yang paling baik amalnya. Hal ini dinyatakan Allah SWT :

اَلَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَحْسَنُ عَمَلَ وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلغَفُوْرِ ( سُوْرَةُ اْلمُلْكِ : 2 )
“ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S AL-Mulk : 3).
Oleh karena itu tidak dapat tidak manusia memperoleh pertolongan kepada Allah SWT Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Dalam surat al-Fatihah, surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat shalat, ada diikrarkan ungkapan “mengisyaratkan bahwa kita sangat memerlukan pertolongan Allah SWT”.
C.     Pandangan Ulama’ mengenai Hadits Etos Kerja

Al-Khuli dalam kitabnya al-Adab an-Nabawi mengemukakan bahwa dari berbagai cara untuk memperoleh harta yang diutarakan di atas maka cara yanng lebih utama adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri. Hal ini dinyatakan Nabi SAW dalam hadis yang lain, dari Miqdam r.a yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Nasa’i dan perawi hadist lainnya, bahwa Nabi SAW bersabda :
مَا اَكَلَ اَحَدٌ طَعَامَا قَطٌ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلٍ بِيَدِهِ, وَاَنَّ النَّبِى الله دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَأْكَلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang makan sesuap makanan lebih baik daripada ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud a.s adalah makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”[9]
Seseorang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja keras menggunakan tangannya sendiri, memeras keringat dan energy dari badannya kemudian memakan hasilnya, sudah tentu lebih baik dari makanan hasil dari yang baersumber peninggalan warisan, pemberian atas kemurahan seseorang atau sedekah yang diberikan kepadanya karena belas kasihan. Karena usaha seseorang mencari nafkah dengan memeras tenaga, mencucurkan keringat itu akan berfaedah sehingga kalau ia makan apa yang dimakannya menjadi terasa enak, dan makanan itu dicerna dengan cepat dan mudah oleh pencernaan sehingga berguna bagi kesehatan tubuh. Demikianlah dijelaskan Al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini.
Al-khuli dalam kitabnya al-Adab an-Nabawi juga menyatakan bahwa kurang kemauan membawa akibat seseorang menjadi pemalas. Sifat lemah dalam kemauan dan pemalas sangat tidak disukai Rasul. Hal ini dapat diketahui adanya do’a yang diucapkan Nabi SAW dengan ungkapan :
اَللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُبِكَ اْلعَجْزِ وَاْلكَسْلِ
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari lemah (kemauan) dan pemalas”.
Ash-Shon’ani mengemukakan bahwa dengan ungkapan (yang terbaik) adalah artinya yang paling halal dan paling berkat. Jadi secara nyata hadis ini menunjukkan bahwa usaha yang paling halal dan berkat itu adalah usaha tangannya sendiri, kemudian baru usaha perniagaan menunjukkan usaha dengan tangan sendiri itu lebih utama. Hal ini sejalan dengan hadis Miqdam di atas. Walaupun demikian para ulama tetap berbeda pendapat tentang usaha yang paling utama. Di antara tiga macam usaha yang bersifat pokok sebagaimana dikemukakan al-Mawardi yaitu pertanian, perdagangan dan industri. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa usaha yang terbaik itu adalah usaha pertanian karena usaha tersebut lebih dekat kepada tawakkal. Dan karena pertanian itu membawa manfaat bukan hanya kepada manusia secara umum, tetapi juga kepada binatang-binatang. Di samping itu usaha pertanian termasuk kepada usaha yang dilakukann dominan dengan tangan.
Tentu saja tidak hanya dalam berjual beli yang harus diperhatikan kehalalan dan kebersihannya sabagai standar utama dalam mencari rezeki karena bagaimanapun juga, Allah Swt. akan memintai pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia dalam hubungannya dengan dengan kehidupan dunia dan akhirat terbagi kepada tiga golongan;
1.             Orang-orang yang sukses atau menang, yakni mereka yang lebih menyibukkan dirinya untuk kehidupan di akhirat daripada kehidupan dunia.
2.             Orang-orang yang celaka, yakni mereka yang menyibukkan dirinya untuk kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat.
3.             Orang-orang berada di antara keduanya, yakni mereka yang mau menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat.
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, mengutip pendapat seorang ahli hikmah, “Para pedagang yang tidak memiliki ketiga sifat di bawah ini, akan menderita kerugian dunia dan akhirat:
a.         Mulutnya suci dari bohong, laghwu (main-main/bergurau) dan sumpah
b.         Hatinya suci dari penipuan, khianat, dan iri.
c.         “Jiwanya selalu memelihara shalat jum’at, shalat berjamaah, selalu menimba ilmu, dan mengutamakan rido Allah swt daripada lainnya.”

D.    Kontektualisasi Etos Kerja dan Realisasinya Dalam Kehidupan

Bekerja adalah kewajiban setiap muslim. Sebab dengan bekeja setiap muslim dapat mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, makluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dan mulia di muka bumi.
Jika setiap muslim bekerja dengan baik , maka ia sudah melakukan ibadah kepadaNya setiap pekejaan baik yang dilakukan muslim karena Allah, berarti ia sudah melakukan kegiatan jihad fi sabilillah. Firman Allah swt dalam surat al-Jumuah;
فإذا قضيت الصلوة فانتشروا فى الارض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون

Apabila sudah ditunaikan shalat,maka hendaklah kamu bertebaran di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak banyaknya supaya kamu beruntung (QS. al-Jumuah, 62 ).
Untuk menggapai keberuntungan hidup, tidaklah hanya cukup tenggelam dalam masalah ibadah formal atau ritual saja. Tetepi hendaknya dimanifestasikan dalam ibadah aktual. Tafsiran ayat “ bertebaran di muka bumi” memberikan  efek batin untuk menjadikan diri kita sebagai sosok manusia yang memiliki achievement tinggi. 
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehimgga bekerja yang didasarkan pada prinsip- prinsip iman tauhid bukan hanya menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirirnya sebagai hamba Allah, yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya mensyukuri kenikmatan dari Allah.
Apabila bekerja itu sebagai fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimananan dalam bentuk amal kreatif, sesunguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang.
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan hidup, sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di atas bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena perbuatan tersebut merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah sendiri sudah memuliakan manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya yang sudah tercantum diatas.
Demikiankah juga hadis yang memberi isyarat bahwa agama Islam menyuruh umatnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek dan rendah martabat perilaku menjadi pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar kemudian dijual adalah lebih baik daripada mengemis.
Bekerja untuk mencari karunia Allah, menjebol kemiskinan meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah yang esensial, karena Nabi bersabda: “kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran’.
Bekerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan didalam mencapai tujuanya tersebut dia berupaya dengan penuh kesunguhan untuk mewujudkan prestasi  yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah. Jadi, etos kerja adalah dorongan, kehendak, atau prinsip bekerja yang muncul dari jiwa individu untuk melakukan suatu kegiatan.
Dikatakan sebagai aktifitas dinamis, mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan sebagai seorang muslim harus penuh dengan tantangan, tidak monoton, dan selalu berupaya untuk mencari terobosan-terobosan baru   (innovative) dan tidak merasa puas dalam berbuat kebaikan.
Pokoknya harus tertanam dalam keyakinan kita bahwa bekerja itu adalah amanah Allah, sehingga ada semacam sikap mental yang tegas pada diri pribadi muslim bahwa;
1.        Karena bekerja adalah amanah, maka dia akan bekerja dengan kerinduan dan tujuan agar pekerjaannya tersebut menghasilkan sesuatu yang optimal.
2.        Ada semacam kebahagian dalam melaksanakan pekerjaan, karena dengan bekerja dia telah melaksanakan amanah Allah.
3.        Tumbuh kreativitas untuk mengembangkan dan memperkaya dan memperluas pekerjaanya.
4.        Ada rasa malu hati apabila pekerjaanya tidak dia laksanakan dengan baik, karena hal ini berarti sebuah pengkhianatan terhadap amanah Allah

III.             KESIMPULAN

Pengertian Etos Kerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etos artinya pandangan hidup dalam suatu golongan secara khusus.[10] Sedangkan kata kerja, artinya perbuatan melakukan sesuatu kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil.[11]
Menurut Franz Magnis dan Suseno berpendapat bahwa etos adalah semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu.[12]
Menurut Clifford Geertz berpendapat bahwa etos adalah sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.[13]
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘ulumuddin”, pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran.
Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah “ethikos”, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya arti sebagai Karakteristik, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, agama mewajibkan manusia berusaha dengan bekerja menurut kemampuan yang ada pada dirinya untuk mendapatkan rezeki. Pekerjaan dengan menjadi peminta-minta dipandang agama sebagai pekerjaan yang merendahkan martabat manusia.
Islam sangat menyukai umatnya untuk selalu meningkatkan semangat kerja guna mencapai kehidupan yang layak dan sejahtera dengan cara mempergunakan sebaik-baiknya peluang-peluang atau kesempatan yang ada, serta tabah dan ulet, tidak mudah putus asa jika ditimpa kegagalan dalam berusaha, di samping memohon pertolongan kepada Allah.
Keimanan yang kuat merupakan faktor penggerak dalam melahirkan budaya kerja yang pro aktif dan efektif untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya. Islam tidak memandang pekerjaan seseorang itu, baik penghasilannya besar maupun kecil yang terpenting yaitu keinginan untuk bekerja keras. Sebaliknya, untuk orang yang kuat fisiknya dan memiliki kecerdasan dalam berpikir tetapi malas untuk bekerja, perbuatan itu sangat dicela oleh Islam, karena umat Islam memiliki kekuatan dan kedudukan yang mulia di hadapan Allah SWT.

Penutup
           
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis berharap  para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan berikutnya. Semoga  makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.


Daftar Pustaka

Y.S. Amran Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesai, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997),
Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja Dalam Perspektif Tasawuf. (Bandung. Pustaka Nusantara Publishing, 2003)
Misbahul Munir, M.EI, Ajaran-Ajaran Ekonomi Rasulullah, (malang, uin-malang, 2007)
Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani, terj. Drs. Moh. Macfuddin Aladip “Bulughul Marom”, (Semarang, Toha Putra, 2012)
Rachmat Syafe’i. Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum).(Bandung: CV. Pustaka Setia)



[1]. Y.S. Amran Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesai, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm.187.
[2]. Ibid,.hlm.307.
[3] . Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja Dalam Perspektif Tasawuf. (Bandung. Pustaka Nusantara Publishing, 2003), hlm. 1.
[4] . Ibid., hlm. 12
[5] . Misbahul Munir, M.EI, Ajaran-Ajaran Ekonomi Rasulullah, (malang, uin-malang, 2007), hal. 107
[6] . Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani, terj. Drs. Moh. Macfuddin Aladip “Bulughul Marom”, (Semarang, Toha Putra, 2012), hal. 300
[7] . Ibid,. hal. 779
[8] . Rachmat Syafe’i. Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum).(Bandung: CV. Pustaka Setia). Halm.114.
[9] . ibid, hal. 116
[10]. Y.S. Amran Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesai, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm.187.
[11]. Ibid,.hlm.307.
[12] . Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja Dalam Perspektif Tasawuf. (Bandung. Pustaka Nusantara Publishing, 2003), hlm. 1.
[13] . Ibid., hlm. 12

5 komentar: